Entri Populer

Kamis, 13 Maret 2008

MEMBANGUN PERADABAN SEJAK DINI


Tulisan ini merupakan hasil pengalaman penulis ketika berkunjung ke Sekolah Peradaban di Cilegon - Banten, 25 Oktober 2007. Pernah dipublikasikan di majalah Kabesak Balai Diklat Kehutanan Kupang

Dalam mind frame kita selama ini, di sekolah adalah tempat anak-anak untuk belajar. Hanya belajar saja. Dalam artian seolah-olah tidak ada waktu untuk bercanda sebagai bentuk ekspresi diri. Tatapan tajam mata sang guru dan penggaris kayu sebagai alat yang ampuh untuk “mendisiplinkan” anak yang sejatinya dapat mengubur dalam-dalam semua ide kreatif mereka.

Namun tidak demikian dengan di sini, di Sekolah Peradaban ini. Anak-anak itu terlihat begitu ceria. Mereka bebas mengekspresikan dirinya. Tertawa, tersenyum, bercanda dan sedikit nakal layaknya anak-anak. Mereka benar-benar menjadi diri mereka sendiri. Tidak seperti kebanyakan anak-anak di sekolah lain yang pernah penulis lihat selama ini.

Bagi siswa di SD Sekolah Peradaban, sekolah merupakan rumah kedua. Mereka betah bersekolah di sini. Guru-guru yang hangat, murah senyum dan santun, ruang kelas yang “unik” dan lingkungan sekolah yang membaur dengan alam sekitar.

Tidak boleh ada lontaran kata-kata negatif sekecil apapun dari mulut sang guru. Tidak ada hukuman fisik atau mental yang mengerdilkan jiwa anak. Tidak boleh ada paksaan untuk mengejar suatu materi pelajaran yang memang si anak tidak/belum mampu menguasainya secara instan. Bebas. Kebebasan terarah yang mengantarkan anak untuk mengejar prestasinya sesuai dengan cara, potensi diri dan kemampuan otaknya masing-masing. Karena di sini, di sekolah ini, anak belajar sesuai cara otak belajar.

Memasuki halaman sekolah ini, kesan yang terlihat pertama adalah seperti memasuki saung besar atau rumah adat tradisional. Bangunan didesain begitu unik dan alami. Dinding, lantai, tiang-tiang dan tangga terbuat dari kayu dengan atap ilalang. Ruang kelas tidak memiliki dinding tertutup. Hanya ada pembatas seperti pagar, yang ditutupi tirai anyaman bambu untuk menghalangi masuknya sinar matahari berlebih atau tampiasan air hujan. Tidak ada penghalang yang membatasi pandangan anak untuk mengamati lingkungan sekitar. Benar-benar pandangan luas dan bebas.

Belajar sesuai cara otak belajar. Demikian bunyi moto yang dianut oleh sekolah ini. Memang sistem pendidikan di sekolah ini cukup unik untuk di Indonesia (seunik bangunannya). Mereka mencoba mengaplikasikan teori Multiple Intelligences (kecerdasan Jamak) yang digagas oleh Howard Gardner beberapa tahun lalu. Kecerdasan tersebut adalah : kecerdasan linguistik (bahasa), logis matematis, visual spasial, kinestetis, naturalis, intra personal, inter personal dan kecerdasan musikal.

Kurikulum yang digunakan mengikuti standar Diknas, tapi dikombinasikan dengan pengayaan dan praktek langsung. Bagi anak-anak yang menonjol di bidang musik misalnya, selain menyediakan laboratorium musik sebagai sarana menyalurkan bakat, pelajaran di kelas pun disampaikan dalam bentuk lagu atau permainan yang diiringi musik atau nyanyian. Sehingga mereka lebih cepat memahaminya. Bagi anak yang menonjol di bidang kinestetis (gerak), selain ada pelajaran khusus olah raga dan diberi kebebasan berekspresi gerak di kelas, sekolah juga menyediakan sarana outbound seperti monkey bar, line bridge, flying fox, spider web dan wall climbing. Didampingi instruktur tentunya. Fasilitas ini digunakan oleh seluruh anak, biasanya dalam satu bulan akan ada acara khusus outbound sebanyak dua sampai empat kali. Selain melatih anak berekspresi, juga melatih keberanian, jiwa kepemimpinan, kemandirian, keterampilan dan ketangkasan.

Walaupun anak dibimbing untuk mengembangkan potensinya yang paling menonjol, bukan berarti lalu mengabaikan potensi yang lainnya, karena pada dasarnya anak cerdas, dan memiliki ke-delapan kerdasan jamak ini. Hanya saja anak yang satu dengan anak yang lain kadarnya berbeda-beda untuk tiap jenis kecerdasannya.

Perdaban dibangun sejak dini. Di sini. Di sekolah ini salah satunya. Sekolah merupakan wadah untuk mencetak kader-kader calon pemimpin bangsa. Sekolah yang baik, tentunya memiliki visi yang baik. Dan sekolah dengan visi yang baik akan melahirkan kader yang baik pula, demikian sebaliknya. Saya teringat ketika masa-masa sekolah dulu. Dari SD sampai SMA bahkan di bangku kuliah sekalipun, dari begitu banyak guru dengan karakternya masing-masing, paling-paling hanya beberapa guru saja yang tetap melekat rasa simpati saya kepadanya. Biasanya guru yang tetap terkenang adalah guru yang lembut, kasih sayang dan memberi teladan bagi muridnya. Guru yang ”killer” ke laut aje, meminjam istilah anak gaul jaman sekarang. Tanpa maksud melupakan jasa mereka (guru yang ”killer”), tapi inilah gambaran nyata yang terjadi dalam dunia pendidikan kita.

Masih banyak guru (bahkan orang tua) yang menggunakan kekerasan untuk “mendisiplinkan” anak. Mulai dari hukuman strap berdiri di kelas, dijemur, lari keliling lapangan, bahkan dijewer, dipukul rotan atau dicubit. Tidak ada manfaat yang dirasa bagi anak. Hanya ”disiplin sesaat”. Hanya menyisakan luka. Maka tidak aneh ketika dewasa, si anak menjadi ”liar”, garang dan emosional. Karena itu lah yang ia dapat sewaktu kecilnya.

Kondisi ini harus dirubah. Itu salah satu dari banyak hal yang memotivasi para perintis sekolah ini untuk mewujudkan insan yang beradab melalui jalur pendidikan. Sudah saatnya bangsa ini maju dan bangkit, masyarakatnya harus menjadi masyarakat intelektual yang menggunakan akal sehat dan hati nuraninya. Jika hari ini anak-anak itu mendapat pelajaran tentang kasih sayang, maka nanti mudah-mudahan dia akan tumbuh menjadi manusia atau pemimpin yang menyayangi sesama manusia atau makluk lainnya. Jika hari ini anak-anak diajarkan tentang mencintai alam, maka akan muncul manusia-manusia yang mampu menjadi khalifah (penjaga) bumi. Jika anak-anak hari ini diajarkan tentang nikmatnya membaca, maka akan lahirlah generasi-generasi bangsa yang gemar membaca dan berwawasan luas. Jika hari ini anak-anak diajarkan pelajaran berhitung dengan teknik yang sangat menyenangkan (melalui tepukan tangan, games, lukisan, dsb) maka akan lahir generasi yang menjadikan matematika sebagai pelajaran yang mudah, bukan sebagai pelajaran yang mengerikan seperti anggapan kita dulu.

Di sini peradaban itu dibangun. Jiwa kewirausahaan anak dipupuk sejak kecil. Mereka diajarkan menghargai bagaimana sulitnya orang tua mereka mencari uang. Tanpa ada maksud mengajarkan anak untuk jadi materialistis. Di sekolah mereka bisa menjual hasil karya mereka (lukisan atau souvenir) atau menjual kue-kue buatan mereka kepada siswa atau orang tua siswa yang lain pada event market day. Mereka diajarkan bagaimana memiliki keluarga adalah sebagai suatu nikmat yang sangat indah melalui event family day. Di ajang ini mereka bisa saling silaturahmi antar murid atau antar orang tua murid. Mereka juga belajar bagaimana nikmatnya memanen hasil kebun yang mereka tanam sendiri, kacang-kacangan, sayur mayur dan ternak lele. Mereka juga diajarkan bagaimana cara menghemat dan mengelola uang serta melatih kejujuran. Sekolah menyediakan Mini Bank. Setiap hari anak dapat menabung. Bagi siswa yang sudah agak besar (kelas 4) diberi giliran untuk ”magang” menjadi “teller” di Mini Bank tersebut.

Yang tidak kalah menariknya adalah tidak ada istilah ujian di sini. Ujian yang menjadi momok menakutkan bagi siapa saja yang mendengar diubah menjadi kata ”perayaan”. Selain itu teknik mengerjakanannya pun dirancang mengasyikkan. Anak-anak tidak mengerjkakan soal-soal di ruang kelas saja. Tapi juga mereka di bawa ke alam sekitar. Di sawah, kebun, tepi sungai, di bawah pohon atau kontak langsung dengan masyarakat, khususnya untuk meteri social science (ilmu social). Anak-anak benar-benar merayakan kemenangannya. Mereka telah sukses menaklukkan ketakutannya sendiri.

Sekolah model ini belum banyak dikembangkan, padahal sistemnya sudah sangat bagus. Mudah-mudahan di masa yang akan datang akan lebih banyak lagi sekolah-sekolah seperti ini. Paling tidak sekolah yang mempunyai visi tidak kalah besar. Sekolah yang membangun peradaban.

Senin, 03 Maret 2008

Oleh-oleh dari Pulau Tinjil


Tulisan ini merupakan rangkuman kisah perjalanan penulis saat mengikuti kegiatan praktek Diklat Tingkah Laku dan Ekologi Primata di Pulau Tinjil, Banten, yang diselenggarakan oleh BDK Kadipaten bekerja sama dengan Pusat Studi Satwa Primata IPB (PSSP IPB) dan University of Washington. sudah pernah di publikasikan di majalah Kabesak Balai Diklat Kehutanan Kupang.

Tinjil, Pulau yang eksotis

Setelah melalui perjalanan darat yang sangat melelahkan (sekitar 10 jam dari Kadipaten ke Muara Binuangeun), dilanjutkan dengan perjalanan laut pada keesokan harinya selama kurang lebih 2 jam menuju Pulau Tinjil. Kapal boat ukuran sedang mengantarkan kami menyeberangi laut lepas yang berombak cukup besar (ini belum seberapa besar kata orang yang sudah sering ke sana). Menginjakkan kaki di Pulau Tinjil untuk pertama kalinya adalah pengalaman luar biasa yang sulit dilupakan. Perasaan senang menyelimuti karena akhirnya bisa tiba dengan selamat walaupun sedikit mabuk laut di perjalanan. Selain itu hamparan pasir putih serta rindangnya daun pohon waru dan pohon ketapang langsung memikat hati kami. Benar-benar indah pulau ini!. Perairannya jernih serta vegetasinya tumbuh alami tanpa ada gangguan dari manusia. Seperti surga kecil yang Tuhan hadirkan di dunia. Malam itu kami tidur dengan pulas, karena lelah selama perjalanan dan harus menghimpun energi untuk memulai kegiatan praktek pada keesokan harinya.

Oo... Ternyata Monyet Gak Sama dengan Kera

Sebelum mengikuti diklat ini, mungkin banyak dari kami yang tidak tahu perbedaan antara monyet dan kera. Pikir kami monyet ya sama dengan kera, dan kera ya sama dengan monyet. Tapi ternyata monyet dan kera itu beda. Monyet biasanya ditujukan bagi primata yang memiliki tubuh kecil sampai sedang, memiliki ekor dan berjalan dengan empat kaki. Sedangkan kera adalah sebutan bagi primata yang memiliki tubuh berukuran sedang sampai besar, tidak memiliki ekor, mampu berjalan dengan 2 kakinya, sedangkan tangannya yang lebih panjang dari kakinya biasanmya dipakai untuk mengayun dari dahan satu ke dahan lainnya. Contoh kera adalah orang utan, simpanse, owa, siamang dan gorilla. Sedangkan contoh monyet adalah beruk, monyet yaki, lutung dan monyet ekor panjang. Pulau Tinjil merupakan salah satu tempat penangkaran primata jenis monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Setelah mengetahui perbedaan antara kera dan monyet, kami bersepakat menyebut monyet ekor panjang dengan kata depan monyet bukan kera ekor panjang seperti yang sering disebut orang. Jika sekali saja ada yang salah menyebutkan nama dengan kera ekor panjang, bersiap-siap sajalah menerima kritikan pedas dari peserta lainnya, tidak pandang bulu, sekalipun salah pengucapan itu dilakukan oleh Widyaiswara. Kejaaam…..!!!! (gak papa demi kebaikan bersama).

Monyet Juga Punya Aturan Gitu Loh!!

Selama 9 hari di Pulau Tinjil, kami banyak mempelajari kera eh monyet ekor panjang, seperti bagaimana cara mengidentifikasinya, cara menduga populasinya, mempelajari habitatnya, perilakunya, cara pengelolaannya dan sebagainya. Yang paling menarik adalah mempelajari perilakunya, sesuai dengan judul diklat. Monyet ekor panjang merupakan makhluk sosial. Dalam hidupnya mereka membentuk kelompok yang terdiri dari sepuluh sampai dengan seratus individu. Dalam kelompok mereka mempunyai aturan main sendiri. Jantan dewasa yang paling kuat (dominan) biasanya akan berperan sebagai pemimpin. Sebagai pemimpin, mempunyai hak istimewa seperti berhak mengawini betina mana saja dan urusan makan harus yang paling duluan. Betina, anak-anak (infant/bayi dan juvenile/remaja) atau jantan yang tidak dominan silahkan menyingkir dulu, sampai sang pemimpin makan dengan puas. Wah enak banget!!!. Siapa yang mau jadi pemimpin mereka??? Kebiasaan unik lainnya adalah mereka senang mengrooming (mencari kutu) satu sama lain.

Ada apa dengan Manci?

Hal yang paling sulit namun ternyata bisa kami lakukan adalah mengidentifikasi individu. Nah lho? Bukannya monyet ekor panjang kelihatan sama semua? Sekilas ya, mereka memiliki morfologi yang sama. Berukuran tubuh hampir sama, berekor panjang, berambut (bukan berbulu ya) sama keabu-abuan. Tapi ternyata kalau kita teliti, ada ciri atau tanda khusus yang dimiliki oleh masing-masing individu. Contohnya si Abah, sebutan bagi pejantan dominan yang memimpin kelompok di sekitar Base Camp kami. Dia memiliki ciri berbadan besar, kekar dan paling suka kawin (Idiih…). Atau si Nini, betina yang berumur cukup tua (makanya disebut nini atau nenek), memiliki ciri terdapat benjolan seperti kutil di bagian atas bibirnya. Ada juga si tampan yang memiliki rambut panjang menjuntai berwarna keputihan pada pipinya (seperti berewok). Memang jika dibandingkan dengan jantan lainnya, dia terlihat yang paling tampan, aduh plizz deeh!. Yang paling terkenal adalah Manci, monyet betina yang paling cuek dengan kehadiran manusia. Dia tidak peduli ditinggalkan oleh kelompoknya jika sedang asyik makan. Maklum saja dia sedang hamil (atau bunting), jadi perlu gizi ekstra buat si jabang bayi, ehmm. Perilakunya yang kadang bikin gemas menjadikan manci sebagai idola baru bagi kami di Pulau Tinjil, selain Mas Rendy guru kami dari amerika (ahli primata gitu deeh).

Danger : Adult Only

Yang namanya primata (kera atau monyet), adalah satwa yang lucu. Banyak orang yang senang memeliharanya, baik sebagai sarana menyalurkan hobi dan gengsi, maupun fungsi lainnya seperti sebagai hewan penghias kandang di taman, dijadikan seperti anak asuh, dimanfaatkan tenaganya (seperti beruk yang dilatih untuk memetik kelapa) dan sebagainya. Tapi yang harus diperhatikan adalah kesehatan satwa tersebut. Jangan sampai primata yang kita pelihara mengidap penyakit berbahaya, karena primata adalah makhluk yang rentan tertular penyakit dan juga mudah menularkan penyakit seperti rabies, TBC, asma atau penyakit berbahaya seperti ebola dan HIV.

Monyet ekor panjang yang ditangkarkan di Tinjil, dimanfaatkan untuk penelitian biomedical. Yaitu sebagai “kelinci percobaan” bagi perkembangan ilmu pengobatan atau kedokteran. Kesehatan satwa sangat diperhatikan sekali di sini, karena monyet ekor panjang yang dibutuhkan adalah yang steril atau bebas penyakit. Itu sebabnya semua orang yang akan menginjakkan kakinya, baik jangka lama ataupun hanya sebentar, harus dipindai (di-rontgen) terlebih dahulu untuk memastikan tidak mengidap penyakit menular seperti TBC. Setiap tahun petugas maupun monyet yang hidup di sana juga harus discan.

Penyakit yang ditularkan dapat melalui kontak langsung (gigitan), maupun tidak langsung (udara, lalat, feses). Oleh karena itu hati-hatilah, karena satwa ini cukup agresif terutama jika kelompoknya merasa terganggu. Jangan sekali-kali mendekati atau didekati, apalagi “menggoda” anakannya, karena si induk dan seluruh anggota kelompok yang lain akan dengan marah menyerang anda. Mereka tidak mau tahu apapun alasannya (yeee…. gak demokratis ya). Kalau gitu silahkan “menggoda” yang sudah dewasa saja ya!

Kegiatan Ekstra : Berburu Kepiting Darat Yuuk..!!!!

Jika dari pagi sampai sore hari kami sibuk mengamati monyet dan dilanjutkan materi kelas setelah makan malam, maka kami punya kegiatan ekstra yang sangat menyenangkan pada malam menjelang tidur. Berburu kepiting darat. Dengan bermodalkan lampu senter dan karung saja perburuan bisa dilakukan. Tekniknya sangat mudah, lampu senter diarahkan ke tanah atau ke sela-sela akar pohon dan serasah. Jika terlihat ada kepiting langsung ditangkap dan dimasukkan ke karung. Tapi hati-hati, kepiting di Tinjil berukuran sangat besar, sekali dicapit sakitnya bisa terasa sampai tiga hari. Hasil buruan kemudian dimasak dengan direbus atau dibumbu gulai. Rasanya sangat enak. Bagi penderita darah tinggi atau pernah punya riwayat stroke dilarang memakan hidangan alam ini. Kalo kumat repot gotongnya bro, di Tinjil cuma ada base camp, tidak ada rumah penduduk apalagi rumah sakit. Kalo darurat ya harus menyeberang ke daratan, 2 jam perjalanan plus pakai nunggu lama lagi. Kapalnya harus dipesan dulu. Weleh-weleh….

Hikmah di Balik Perjalan Ini

Selain menambah ilmu, kawan dan koneksi, ada hikmah dari perjalanan ini. Yang pertama adalah batapa Tuhan Maha Indah. Jika Pulau Tinjil dan seisinya Dia ciptakan dengan sangat indah, pastilah penciptanya jauh lebih indah. Hamparan pasir putih, terumbu karang, ubur-ubur dan moluska yang memendarkan cahaya hijau fosfor pada malam hari, deretan pandan yang berbaris rapi, hempasan ombak yang menari-nari cukuplah mengajak hati untuk bertasbih kepada-Nya. Hikmah kedua adalah betapa Tuhan Maha Adil. Pulu tinjil yang hanya 600 ha, terisolasi dari daratan yang cukup jauh, tapi masih ada kehidupan di sana. Tokek, biawak, kepiting, beberapa jenis burung dan ular dapat bertahan hidup. Pastilah ada yang menjamin rezeki bagi mereka sehingga mereka bisa tetap dapat makan untuk menyambung hidup. Hikmah ketiga adalah terjalinnya tali silaturahmi dengan petugas yang berjaga di sana. Awalnya tidak kenal, kemudian kenal lalu akrab. Tampak mereka adalah para pejuang yang mewarnai kehidupan ini. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga pikiran dan jauh dari keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarga dengan menjadi penjaga pulau. Keluhan, unek-unek dan kepenatan hidup mereka luangkan kepada kami, tamu yang beberapa hari saja singgah. Tapi kebahagiaan dan keikhlasan tampak dari wajah mereka. Masih banyak hikmah lain yang tidak dapat penulis gambarkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membacanya. Terima kasih buat semua pihak yang telah mau berbagi kebahagiaan selama di Tinjil.

Cendana, Santalum album L.


Cendana adalah istilah dari bahasa sansekerta. Berbagai masyarakat di Nusa Tenggara Timur mengenal cendana dengan berbagai istilah antara lain : kai salun (Helong), hau meni (Atoni meto), ai kamenil (Tetun), Hadana, ai nitu atau Wasu dana (Sumba), ai nitu (Rote), haju mangi (Sabu), bong mouni (Alor).

Cendana yang berasal dari istilah bahasa sansekerta yang dalam bahasa latin disebut Santalum album L. termasuk famili Santalaceae. Sebenarnya ada dua jenis cendana yakni cendana merah atau Pterocarpus santalinus dan cendana putih atau Santalum album L. Cendana merah, kurang harum dan tidak baik mutunya oleh karena itu kurang penting bagi perdagangan. Cendana jenis ini hidup di Funan dan India. Sementara cendana putih mempunyai kualitas yang tinggi karena aromanya yang harum dan mengandung minyak. Cendana putih tumbuh di wilayah kepulauan Nusa Tenggara Timur yakni pulau Flores, Sumba, Solor, Adonara, Lomblen, Pantar, Alor, Timor, Rote dan Sabu. Di masa lalu dua pulau penting penghasil cendana adalah pulau Sumba dan pulau Timor. Karena sebagai penghasil utama cendana di masa lalu, pulau Sumba dijuluki Sandelwood Island atau pulau cendana. Namun sayang cendana tersebut semakin langka karena ulah manusia antara lain karena pencurian dan peraturan pengelolaan cendana yang kurang memihak rakyat. Cendana yang tumbuh dimana pun baik yang tumbuh di tanah negara maupun di tanah milik masyarakat wajib dipelihara oleh masyarakat. Kalau pohon cendana mati akan didenda. Namun hasil kayu cendana sebagian besar masuk ke kas pemerintah.

Cendana juga dijumpai di luar Indonesia. Cendana yang di kembangkan di Mysore India bibitnya didatangkan dari Pulau Timor pada 20 abad yang lalu. Cendana juga hidup di Fiji, Kepulauan Hibride, kepulauan Marquesas di Pasifik dan juga di Australia Barat. Cendana dari Pasifik baru diperdagangkan pada akhir abad XIX, sedangkan cendana dari Nusa Tenggara Timur telah diperdagangkan sejak awal abad masehi. Berkat perdagangan cendana, wilayah Nusa Tenggara Timur telah melakukan kontak dengan dunia luar sejak awal abad masehi. Perdagangan di Nusa Tenggara Timur yang diawali oleh perdagangan cendana, akhirnya mempunyai efek sebar menumbuhkan dinamika masyarakat dan menambah khasanah kebudayaan daerah.

Ciri Biologis Cendana

Pohon cendana yang tergolong keluarga Santalaceae, Ordo Loranthaceae. Pohon cendana merupakan tumbuhan setengah parasit dan memperoleh makanan dari pohon inang melalui akarnya yang dihubungkan melalui haustori. Unsur zat yang diambil dari pohon inang hanya unsur N, P dan unsur amino. Melalui haustori ini makanan yang diserap melalui pohon inang disalurkan ke mahkota daun yang kemudian diolahnya menjadi zat pembentuk bagian tanaman.

Cendana bersifat introtrap terhadap karbon, bibit cendana yang baru tumbuh, yang hanya mempunyai akar rambut, menggantungkan diri kepada tuan rumah tanaman inang. Ada 213 jenis pohon inang cendana. Namun kesukaan cendana terhadap beberapa jenis pohon tertentu sebagai inang seperti Leguminosa antara lain : albasia, akasia, dalbergia, inga dan pongamia. Cendana juga bisa hidup pada alang-alang sebagai inang.

Kondisi iklim tempat tumbuhnya cendana harus menunjukkan perbedaan musim kamarau dan musim penghujan yang jelas. Pertubuhan cendana secara alamiah terutama di daerah formasi terumbu karang. Cendana sangat suka tumbuh di daerah bebatuan dan tanah vulkanis yang meneruskan air. Cendana dapat hidup di daerah sampai pada ketinggian 1.500 m dari permukaan laut. Cendana tidak dapat tumbuh di hutan lebat tetapi di pinggir hutan dan di daerah padang savana.

Pohon cendana mencapai ketinggian 11 sampai 15 meter dengan diameter 25 - 30 cm. Batangnya bulat dan kulitnya berwarna coklat abu-abu sampai coklat merah. Cabangnya mulai pada bagian setengah pohon. Dahan-dahan primer sangat tidak beraturan, sering bengkok dan banyak ranting. Dahan bagan bawah cenderung tumbuh menggantung. Daun cendana berhadap-hadapan, bentuknya elips hingga lanset (bulat telur) dengan dua ujungnya lancip.

Di pulau Timor dibedakan cendana berdaun besar dan berdaun kecil yang disebut no menutu dan no naik. Daun cendana rontok pada awal musim kemarau dan awal musim penghujan. Namun proses rontoknya tidak bersamaan. Segera setelah daun rontok tumbuh daun baru bersamaan tumbunhya bunga. Bunga cendana kecil berbentuk jumbai pada ujung ranting dan ketiak daun. Bunga cendana berbau tidak sedap, berwarna putih - kuning kehijau - hijauan hingga lembayung dan segera berubah menjadi coklat.

Buah cendana merupakan biji yang keras berbentuk bulat, berwarna hitam dengan tiga keratan dari ujung ke tengah-tengah dinding bijinya keras. Daging bijinya tipis. Musim bunga utama pada bulan Desember hingga Januari. Buahnya masak pada bulan Maret dan Juni. Pohon cendana telah berbuah pada usia 3 - 4 tahun. Namun untuk bibit yang terbaik adalah buah dari pohon yang telah berusia 20 tahun. Buah yang masak jatuh dan lekas rusak. Semut, tikus dan burung suka makan buahnya. Namun benih hanya tumbuh pada lingkungan yang ideal. Cendana dapat berkembang biak melalui biji dan akar.

Kayu galih atau teras cendana keras berserat padat dan berwarna kekuning-kuningan dan brminyak. Kayu pinggirnya berwarna putih dan hampir tidak berbau. Pembentukan galih atau teras dimulai sekitar usia 15 tahun. Namun pohon cendana baru siap dipanen pada usia 40 - 50 tahun.

Kegunaan Cendana

Sejak jaman kuno cendana telah dipergunakan oleh orang Hindu dan Cina sebagai dupa dalam rangka upacara keagamaan dan kematian. Di samping itu orang Hindu menggunakan tepung cendana sebagai bedak pelabur kulit untuk membedakan kasta Brahmana dan kasta lainnya. Kayu cendana juga dimanfaatkan untuk patung, bahan kerajinan dan perkakas rumah tangga. Dalam pembakaran mayat orang Hindu kadang-kadang digunakan pula kayu cendana. Minyak cendana yang wangi baunya digunakan sebagai bahan pengobatan dan campuran minyak wangi (parfum).

Karena manfaatnya yang cukup banyak, cendana sejak awal abad masehi telah diperdagangkan. Banyak pedagang dari wilayah Indonesia bagian barat dan Cina berlayar ke berbagai wilayah penghasil cendana di Nusa Tenggara Timur terutama Pulau Sumba dan Pulau Timor. Perdagangan cendana semula menjadi monopoli para raja dan keluarga bangsawan, kemudian menjadi monopoli pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia.

Pada masa lalu sering terjadi perang karena memperebutkan daerah pertumbuhan cendana. Kerajaan-kerajaan yang menguasai perdagangan cendana, agar aman pemasokannya, harus menguasai wilayah pertumbuhan cendana secara alami. Oleh karena itu banyak para bangsawan dan panglima dikirim ke daerah-daerah dalam rangka pengamanan cendana. Sering juga agar pengamanan lebih berhasil dilakukan ikatan kekeluargaan antara para bangsawan dan panglima yang datang dengan putri-putri bangsawan lokal. Dari perdagangan cendana banyak dihasilkan kemakmuran bagi para penguasa lokal, dan masuknya berbagai unsur budaya dari luar yang memperkaya khasanah budaya Nusa Tenggara Timur.

Cendana kemudian mempunyai efek sebar tumbuhnya perdagangan. Salah satu latar belakang sebaran etnis, asal-usul nenek moyang di Nusa Tenggara Timur terkait dengan perdagangan cendana. Dari perdagangan cendana menumbuhkan kontak antar budaya dari penduduk lokal dengan para pedagang yang berasal dari berbagai wilayah. Hal ini menumbuhkan berbagai perubahan sosial budaya di Nusa Tenggara Timur yag hakekatnya menumbuhkan dinamika masyarakat NTT.

Peraturan pengelolaan cendana yang berorientasi pada penguasa baik penguasa lokal maupun penguasa kolonial dan akhirnya pemerintah Republik Indonesia, yang tidak memihak kepada rakyat karena semua cendana tumbuh di mana pun baik di tanah negara maupun di tanah rakyat wajib dijaga. Kalau pohon cendana itu mati rakyat akan dikenakan denda. Sebaliknya sewaktu ditebang dan menghasilkan uang, rakyat tidak ikut menikmati hasilnya. Merosotnya perdagangan cendana pada tahun 1860 serta berlakunya politik etika pemerintah kolonial Belanda mendorong kebijakan baru upaya mengintrodusir perbaikan peternakan khusunya memasukkan ternak sapi pada awal abad ke - 20 yakni sapi Bali di Timor, sapi Onggole di Sumba dan sapi Madura di Flores serta merintis pembukaan perkebunan kopi. Namun semuanya gagal.

Untuk pengamanan kebijakan tersebut pemerintah kolonial Belanda mulai memberlakukan sensus pohon cendana sejak dekade pertama abad ke - 20. Tahun 1916 dilakukan penghapusan penebangan dan perdagangan bebas kayu cendana. Pada tahun 1925 diberlakukan Sandelhoutkeur (Sandalwood Ordinance). Diumumkan pada waktu itu bahwa seluruh cendana menjadi milik swapraja. Residen A.J.L. Couvreur tahun 1924 merintis budidaya cendana tetapi gagal. Dengan kondisi tersebut menumbuhkan efek bumerang rakyat yang merasa tidak ikut memiliki, akhirnya acuh tak acuh bahkan ikut secara langsung maupun tidak langsung terhadap proses kelangkaan kayu cendana (Ormeling, 1955).

Sampai sekarang perdagangan cendana menjadi monopoli pemerintah. Perdaperdagangan kayu cendana keluar Nusa tenggara Timur harus dalam bentuk bahan setengah jadi atau bahan jadi. Di Kupang terdapat dua pabrik penyulingan minyak cendana di Bakunase. Namun kedua pabrik ini terpaksa berhenti beroperasi karena kekurangan bahan baku. Sementara walau kesulitan bahan baku, perusahaan pembuat barang kerajinan/cendera mata dari cendana masih berjalan. Cendana mempunyai daya tarik tidak saja kayunya, tetapi juga unsur-unsur yang berkaitan dengan cendana yang belum tergarap misalnya anakan cendana, kerajinan daun cendana, gubal cendana dsb.

Dikutip dari : Munandjar Widyatmika. 2007. Kapita Selekta Muatan Lokal Nusa Tenggara Timur. Halaman 26 - 30. Pusat Pengembangan Madrasah. Kupang.