Tulisan ini merupakan rangkuman kisah perjalanan penulis saat mengikuti kegiatan praktek Diklat Tingkah Laku dan Ekologi Primata di Pulau Tinjil, Banten, yang diselenggarakan oleh BDK Kadipaten bekerja sama dengan Pusat Studi Satwa Primata IPB (PSSP IPB)
Setelah melalui perjalanan darat yang sangat melelahkan (sekitar 10 jam dari Kadipaten ke Muara Binuangeun), dilanjutkan dengan perjalanan laut pada keesokan harinya selama kurang lebih 2 jam menuju Pulau Tinjil. Kapal boat ukuran sedang mengantarkan kami menyeberangi laut lepas yang berombak cukup besar (ini belum seberapa besar kata orang yang sudah sering ke
Sebelum mengikuti diklat ini, mungkin banyak dari kami yang tidak tahu perbedaan antara monyet dan kera. Pikir kami monyet ya sama dengan kera, dan kera ya sama dengan monyet. Tapi ternyata monyet dan kera itu beda. Monyet biasanya ditujukan bagi primata yang memiliki tubuh kecil sampai sedang, memiliki ekor dan berjalan dengan empat kaki. Sedangkan kera adalah sebutan bagi primata yang memiliki tubuh berukuran sedang sampai besar, tidak memiliki ekor, mampu berjalan dengan 2 kakinya, sedangkan tangannya yang lebih panjang dari kakinya biasanmya dipakai untuk mengayun dari dahan satu ke dahan lainnya. Contoh kera adalah orang utan, simpanse, owa, siamang dan gorilla. Sedangkan contoh monyet adalah beruk, monyet yaki, lutung dan monyet ekor panjang. Pulau Tinjil merupakan salah satu tempat penangkaran primata jenis monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Setelah mengetahui perbedaan antara kera dan monyet, kami bersepakat menyebut monyet ekor panjang dengan kata depan monyet bukan kera ekor panjang seperti yang sering disebut orang. Jika sekali saja ada yang salah menyebutkan nama dengan kera ekor panjang, bersiap-siap sajalah menerima kritikan pedas dari peserta lainnya, tidak pandang bulu, sekalipun salah pengucapan itu dilakukan oleh Widyaiswara. Kejaaam…..!!!! (gak papa demi kebaikan bersama).
Selama 9 hari di Pulau Tinjil, kami banyak mempelajari kera eh monyet ekor panjang, seperti bagaimana cara mengidentifikasinya, cara menduga populasinya, mempelajari habitatnya, perilakunya, cara pengelolaannya dan sebagainya. Yang paling menarik adalah mempelajari perilakunya, sesuai dengan judul diklat. Monyet ekor panjang merupakan makhluk sosial. Dalam hidupnya mereka membentuk kelompok yang terdiri dari sepuluh sampai dengan seratus individu. Dalam kelompok mereka mempunyai aturan main sendiri. Jantan dewasa yang paling kuat (dominan) biasanya akan berperan sebagai pemimpin. Sebagai pemimpin, mempunyai hak istimewa seperti berhak mengawini betina mana saja dan urusan makan harus yang paling duluan. Betina, anak-anak (infant/bayi dan juvenile/remaja) atau jantan yang tidak dominan silahkan menyingkir dulu, sampai sang pemimpin makan dengan puas. Wah enak banget!!!. Siapa yang mau jadi pemimpin mereka??? Kebiasaan unik lainnya adalah mereka senang mengrooming (mencari kutu) satu sama lain.
Hal yang paling sulit namun ternyata bisa kami lakukan adalah mengidentifikasi individu. Nah lho? Bukannya monyet ekor panjang kelihatan sama semua? Sekilas ya, mereka memiliki morfologi yang sama. Berukuran tubuh hampir sama, berekor panjang, berambut (bukan berbulu ya) sama keabu-abuan. Tapi ternyata kalau kita teliti, ada ciri atau tanda khusus yang dimiliki oleh masing-masing individu. Contohnya si Abah, sebutan bagi pejantan dominan yang memimpin kelompok di sekitar Base Camp kami. Dia memiliki ciri berbadan besar, kekar dan paling suka kawin (Idiih…). Atau si Nini, betina yang berumur cukup tua (makanya disebut nini atau nenek), memiliki ciri terdapat benjolan seperti kutil di bagian atas bibirnya. Ada juga si tampan yang memiliki rambut panjang menjuntai berwarna keputihan pada pipinya (seperti berewok). Memang jika dibandingkan dengan jantan lainnya, dia terlihat yang paling tampan, aduh plizz deeh!. Yang paling terkenal adalah Manci, monyet betina yang paling cuek dengan kehadiran manusia. Dia tidak peduli ditinggalkan oleh kelompoknya jika sedang asyik makan. Maklum saja dia sedang hamil (atau bunting), jadi perlu gizi ekstra buat si jabang bayi, ehmm. Perilakunya yang kadang bikin gemas menjadikan manci sebagai idola baru bagi kami di Pulau Tinjil, selain Mas Rendy guru kami dari amerika (ahli primata gitu deeh).
Yang namanya primata (kera atau monyet), adalah satwa yang lucu. Banyak orang yang senang memeliharanya, baik sebagai sarana menyalurkan hobi dan gengsi, maupun fungsi lainnya seperti sebagai hewan penghias kandang di taman, dijadikan seperti anak asuh, dimanfaatkan tenaganya (seperti beruk yang dilatih untuk memetik kelapa) dan sebagainya. Tapi yang harus diperhatikan adalah kesehatan satwa tersebut. Jangan sampai primata yang kita pelihara mengidap penyakit berbahaya, karena primata adalah makhluk yang rentan tertular penyakit dan juga mudah menularkan penyakit seperti rabies, TBC, asma atau penyakit berbahaya seperti ebola dan HIV.
Monyet ekor panjang yang ditangkarkan di Tinjil, dimanfaatkan untuk penelitian biomedical. Yaitu sebagai “kelinci percobaan” bagi perkembangan ilmu pengobatan atau kedokteran. Kesehatan satwa sangat diperhatikan sekali di sini, karena monyet ekor panjang yang dibutuhkan adalah yang steril atau bebas penyakit. Itu sebabnya semua orang yang akan menginjakkan kakinya, baik jangka lama ataupun hanya sebentar, harus dipindai (di-rontgen) terlebih dahulu untuk memastikan tidak mengidap penyakit menular seperti TBC. Setiap tahun petugas maupun monyet yang hidup di sana juga harus discan.
Penyakit yang ditularkan dapat melalui kontak langsung (gigitan), maupun tidak langsung (udara, lalat, feses). Oleh karena itu hati-hatilah, karena satwa ini cukup agresif terutama jika kelompoknya merasa terganggu. Jangan sekali-kali mendekati atau didekati, apalagi “menggoda” anakannya, karena si induk dan seluruh anggota kelompok yang lain akan dengan marah menyerang anda. Mereka tidak mau tahu apapun alasannya (yeee…. gak demokratis ya). Kalau gitu silahkan “menggoda” yang sudah dewasa saja ya!
Jika dari pagi sampai sore hari kami sibuk mengamati monyet dan dilanjutkan materi kelas setelah makan malam, maka kami punya kegiatan ekstra yang sangat menyenangkan pada malam menjelang tidur. Berburu kepiting darat. Dengan bermodalkan lampu senter dan karung saja perburuan bisa dilakukan. Tekniknya sangat mudah, lampu senter diarahkan ke tanah atau ke sela-sela akar pohon dan serasah. Jika terlihat ada kepiting langsung ditangkap dan dimasukkan ke karung. Tapi hati-hati, kepiting di Tinjil berukuran sangat besar, sekali dicapit sakitnya bisa terasa sampai tiga hari. Hasil buruan kemudian dimasak dengan direbus atau dibumbu gulai. Rasanya sangat enak. Bagi penderita darah tinggi atau pernah punya riwayat stroke dilarang memakan hidangan alam ini. Kalo kumat repot gotongnya bro, di Tinjil cuma ada base camp, tidak ada rumah penduduk apalagi rumah sakit. Kalo darurat ya harus menyeberang ke daratan, 2 jam perjalanan plus pakai nunggu lama lagi. Kapalnya harus dipesan dulu. Weleh-weleh….
Selain menambah ilmu, kawan dan koneksi, ada hikmah dari perjalanan ini. Yang pertama adalah batapa Tuhan Maha Indah. Jika Pulau Tinjil dan seisinya Dia ciptakan dengan sangat indah, pastilah penciptanya jauh lebih indah. Hamparan pasir putih, terumbu karang, ubur-ubur dan moluska yang memendarkan cahaya hijau fosfor pada malam hari, deretan pandan yang berbaris rapi, hempasan ombak yang menari-nari cukuplah mengajak hati untuk bertasbih kepada-Nya. Hikmah kedua adalah betapa Tuhan Maha Adil. Pulu tinjil yang hanya 600 ha, terisolasi dari daratan yang cukup jauh, tapi masih ada kehidupan di sana. Tokek, biawak, kepiting, beberapa jenis burung dan ular dapat bertahan hidup. Pastilah ada yang menjamin rezeki bagi mereka sehingga mereka bisa tetap dapat makan untuk menyambung hidup. Hikmah ketiga adalah terjalinnya tali silaturahmi dengan petugas yang berjaga di sana. Awalnya tidak kenal, kemudian kenal lalu akrab. Tampak mereka adalah para pejuang yang mewarnai kehidupan ini. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga pikiran dan jauh dari keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarga dengan menjadi penjaga pulau. Keluhan, unek-unek dan kepenatan hidup mereka luangkan kepada kami, tamu yang beberapa hari saja singgah. Tapi kebahagiaan dan keikhlasan tampak dari wajah mereka. Masih banyak hikmah lain yang tidak dapat penulis gambarkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membacanya. Terima kasih buat semua pihak yang telah mau berbagi kebahagiaan selama di Tinjil.
6 komentar:
wah Pulau Tinjil memang mantap bro, saya pernah sekali kesana, kembarannya ada Pulau Deli...sama2 penangkaran monyet ekor panjang.
iya mr. murman, lumayan hampir 1 minggu di sana. instrukturnya juga bule, lumayan nambah2 skill english ku. pengin ke sana lagi euy, tapi kalo liat ombaknya yg gede, mikir2 lagi hehehe....
Bisa bantu ga, kontak person kalau mau ke pulau tinjil dan bagaiman persyaratannya? Terima kasih sebelumnya
waktu saya ke tinjil, akomodasi n transportasi diorganisir sama panitia diklat. kalo berminat ke sana bisa hubungi pak entang, di pusat primata IPB. kampus baranangsiang deket terminal barangsiang. sepertinya harus ada ijin kalo mau ke sana, coz yg kelola perhutani n IPB
apakah di pulau tinjil bisa untuk camp atau bertenda ?
apakah di pulau tinjiol bisa untuk camp atau bertenda tidak ya ? thanks
Posting Komentar